top of page

Review What If It's Us by Becky Albertalli & Adam Silvera


What If It's Us | 7.5/10

Becky Albertalli & Adam Silvera

Simon & Schuster

2018

 

Musim panas ini, Arthur menemukan dirinya memandangi keindahan New York dan segala aktivitas sibuk yang ditawarkan kota ini, membayangkan berada di antara kemagisan New York seperti layaknya broadway yang selalu ia tonton. Kemarin ia hanya another guy di Georgia, kini ia berjarak ratusan KM dari keduanya untuk menghabiskan musim panas dengan magang di lawfirm Ibunya.

Lalu ada Ben, New Yorker yang tengah dilanda patah hati dan semakin diperparah ketika mengetahui mantan kekasihnya berada di summer school yang sama dengannya. Kesal dengan pilihan universe New York yang selalu bercanda dengannya, Ben berniat untuk mengembalikan seluruh barang yang diberikan mantannya via pos.

Bagi keduanya, universe memiliki andil besar terhadap momen yang mereka rasakan - termasuk saat ini, ketika keduanya terjebak di antara flash mob dari wedding proposal di kantor pos. Keduanya menyadari bahwa pilihan Arthur untuk menikmati New York saat itu dan pilihan Ben untuk mengirimkan barang hari itu memang campur tangan universe untuk mempertemukan keduanya.

Kehebohan flash mob tersebut memisahkan keduanya dengan hanya memberikan sedikit clue untuk mereka bertemu lagi. Dengan bantuan halaman Craiglist, mereka kembali dipertemukan dan keduanya memberikan kesempatan untuk give a shot to such a relationship. Namun, apakah semudah itu? Apakah universe mempertemukan hanya untuk mengantarkan mereka kepada perpisahan? Apakah kehidupan di New York ala broadway yang diidamkan Arthur benar-benar terjadi?

Mulai bosan dengan pengangkatan karakter gay di kebanyakan YA yang lebih banyak fokus kepada usaha mereka untuk come out, atau cuma sekedar berperan sebagai sahabat dari karakter utama? Worry not! Gay character never won this much in any literatures.

Ini tentang cerita cinta, patah hati, kesetiaan, perjuangan mempertahankan, dan plot kisah cinta yang biasa kita temukan di novel YA lainnya. Ceritanya seperti kelanjutan happy ending dari usaha usaha gay yang berjuang di novel lainnya dengan perspektif yang nggak pernah ditawarkan.

Kalau kamu penikmat Becky Albertalli (Simon vs The Homosapiens Agenda, 2010) & Adam Silvera (More Happy Than Not, 2015) tentunya ngga mau ketinggalan yang satu ini. Seperti biasa, keduanya menghadirkan sesuatu yang enak dibaca dengan plot yang lucu, awkward, dan adegan menarik yang inspiratif.

Menariknya lagi pemilihan nama Arthur & Ben ini ternyata berasal dari inisial nama penulisnya yang diberikan satu sama lain. Becky memberi nama Adam, Arthur Seuss. Sementara, Adam memberik nama Becky, Ben Alejo.

Melihat bagaimana "normal"-nya kehidupan yang ditawarkan, rasanya pas baca menyenangkan aja walaupun di awal suka susah bedain karakter keduanya. Karena meski ditulis dengan perspektif antar Arthur & Ben, keduanya punya style penulisan yang nggak jauh berbeda jadi suka bingung mengingat ini lagi di perspektif siapa.

Bumbu bumbu masalah dari keluarga, diskriminasi, pertemanan, bahkan permasalahan sekolah menjadikan novel ini semakin relatable dengan kebanyakan market dari novel ini sendiri. Selain itu perlu diapresiasi bagaimana novel ini tidak menjual New York terlalu imajinatif.



"I guess that's any relationship. You start with nothing, and maybe end with everything -- Ben (p. 148)

Susah untuk mendeskripsikan bagaimana rasanya membaca buku ini. Ada rasa sedikit membosankan dan terlalu berbelit belit, tapi pada kenyataannya gue nggak mau berhenti baca. Beberapa adegan signature yang mereka buat itu rasanya awkward atau aneh banget tapi pengen tau akan berakhir seperti apa.

Di beberapa titik terasa satu karakter dominan terhadap karakter lainnya - dan ini sangat menyebalkan, tapi mengingat di ending berbanding terbalik dengan bagaimana cerita ini dibawa rasanya pengen ngangguk ngangguk sambil bergumam "You got me"

Melihat dari review dan plotnya sebenernya gue berkekspektasi lebih, tapi buku ini bisa jadi rekomendasi untuk dibaca ketika liburan sekolah atau libur panjang, rasanya mengajak kita berlibur ke universe mereka.

Banyaknya karakter dalam novel ini juga kadang menjadikan novel yang harusnya bisa menjadi ringan jadi berat karena terlalu banyak masalah yang dihadirkan. Walaupun begitu, ada karakter yang menurut gue menarik untuk dibuat spinoff-nya salah satunya hubungan gemas Dylan & Samantha.

"If a piece of trash never makes it into a trash can, can you even call it trash? Because let's just imagine - and this is totally hypothetical - let's say there's a crumpled shipping label on the floor. Is that trash? What if it's a glass slipper?"

-- Arthur (p. 18)

Ohiya jangan lupa, novel ini mengandung sexual scene, jadi dibutuhkan kedewasaan untuk membaca dan mencerna makna ceritanya yah!

Salam Hombimba,

Graisa

xoxo


Comments


bottom of page