top of page

Tulisan di Bulan Agustus #9CeritaMenuju29

Sembari menunggu kereta masuk ke jalur tempat gue berdiri, ibu jari gue terus menarik dan mendorong layar ponsel pada aplikasi notes, membuat tulisan-tulisan yang pernah gue buat setahun ke belakang naik turun.


Gue baru menyadari ada beberapa tulisan jadi yang bahkan belum sempat gue sematkan di blog.

Ketika gue membaca satu-satu, tidak terasa hati gue berdesir, ada satu linangan air mata turun perlahan.


Ternyata banyak sekali yang terjadi di tahun ini, melihat aplikasi ini menjadi saksi gue berprogres rasanya menghilangkan lelah sedari pagi.


Tidak ada momentum paling tepat selain mengeluarkan tulisan ini ketika gue berhasil menapaki tahun ke 29 hidup di dunia ini. Jadi, mungkin ini momennya.


Tulisan yang akan lo baca di bawah ini adalah tulisan yang punya kesan sendiri untuk gue. Gue masih ingat momen dan perasaan ketika gue menulis, masih tersenyum tiap gue baca.


Tulisannya dibuat di tanggal 10 September 2023 untuk menggambarkan momen yang terjadi 2 minggu sebelumnya, pada notes gue tertulis judulnya - Track 12; 1989, Swift.


Dan ini tulisannya, momen pertama mengawali cerita pertama dari rangkaian 9 Cerita Menuju usia 29:

 

Gue menggapai lengan Aris sesaat langkah kaki gue menyamai langkah lebarnya yang siap memandu menyebrang. Bersama dengan yang lain, kami berencana makan di seberang jalan.


Sembari menunggu mobil hilir mudik lewat di depan kami, gue menangkap arah pandangnya yang bukannya melihat jalan malah tak lepas memandangi gue. Postur tubuhnya yang 7cm lebih tinggi dari gue membuat gue sedikit mendongak membalas tatapannya bermaksut memberikan gestur “kenapa?” untuk membalas tatapannya.


“Lo sesuka itu ya sama dia?” Tanyanya singkat.


Mendengar pertanyaannya, gue kembali membuang pandangan ke arah jalanan yang mulai kosong untuk siap disebrangi, sembari menyunggingkan senyum tanpa makna. Pertanyaan itu mengantarkan pikiran gue melayang ke hari-hari dimana semua cerita ini dimulai.




1 TAHUN SEBELUMNYA 

“Kak, liat! Udah gila Grai bikin list ideal partner” Lina sedikit berteriak dan menarik perhatian sekitar ketika melihat coret-coretan yang ada di Ipad gue. Jam makan siang hari itu malah diisi oleh obrolan random. 


“Namanya manifesting” Jawab gue singkat sambil menegak minum yang gue pegang. 


“Nomer 19: pake kacamata, bisa nyetir, matters banget kah???” Tanya Lina menggebu-gebu, gue tertawa kecil “Nerd guy way more attractive, lin. Besides, gue gak pernah punya cowok pake kacamata dan bisa nyetir. Jadi manifesting a bit won’t hurt, huh?”


Arham yang duduk di sebelah gue ikut mengintip catatan yang gue punya 


“Bisa-bisanya lo masukin interest suka diajak ke museum tapi punya hobi yang cowok banget kayak olahraga, konser, sepatu. Udah gila lu, jelas jelas itu 2 tipe orang yang biasanya berbeda banget, grai” 


Ketawa gue makin kenceng “Why are you guys taking this so seriously??” 


“Ini sih lucu, nomer 23, take me across places ke hal yang gue gak suka. Grai, asliii, bisa bisanya malah berharap diajak untuk hal yang lo gak suka” Lina mulai berlinang yang mengikuti tawanya. 


“Diajak keluar dari comfort zone, Lin. Isn’t it fun? Tapi itu emang the moment if you know, you’ll know. Yang bikin kita comfortable bukan jadi nggak nyaman gitu”


“Malah lo gak masukin yang solat. Emang doyan sama yang kristen lo ya? Aneh” Dito menanggapi ngasal sambil berlalu. 


“Itu ada di nomer satu yaaa, buta” Jawaban yang lebih berupa teriakan itu menutup diskusi makan siang hari itu. 


3 BULAN SEBELUMNYA

Malam minggu itu mungkin terlihat seperti minggu biasanya. 


Kecuali agak sedikit lebih emosional setelah banyak perubahan di kantor terjadi. Fokus gue malam itu sibuk menyelesaikan deck yang harus gue presentasikan hari senin. 


Ketika sedikit bosan dan berniat scrolling instagram, ada friend request dari Dito. Gue hanya tersenyum kecil menyadari kenyataan bahwa kami belum berteman di Instagram padahal sehari-hari kerjaannya mocking each other.


20 menit setelah gue approve permintaan bertemannya, pesan itu masuk.


“Grai, mau gue kenalin temen gue ga”

“Tapi islam”


Gue terbahak membaca pesannya. Walau berbeda departemen, Dito dan satu timnya sering kali bekerja dan mengobrol personal dengan gue, sehingga nggak heran kalau Dito juga tau tipe tipe cowok yang gue suka termasuk salah satunya…non muslim, sehingga melihat Dito menjadikan agama seakan seperti “blocker” jadi lucu untuk gue. 


“Cakep gak, pinter gak, sayang orang tua gak, makan babi gak” Jawab gue dengan rentetan pertanyaan, sekenangnya


Balasan Dito setelahnya tidak membuat tawa gue semakin kecil


“Cakep relatif, pinter, sayang orang tua, pernah makan babi. Cocok kalau lo sukanya sama yang kristen.”

“Grai jawab chat gue anjir, jgn kerja terus”



2 BULAN, 9 HARI SEBELUMNYA


Guess what” 


Pesan yang gue kirimkan ke Catra sepersekian detik langsung dibalasnya


What?” 


“Akhirnya gue makan taichan di Senayan! And a midnight walk” 


Becanda?? Isn’t it what you always wanted?” 


“Hahahahaha, eh, ya you remember?” 


Cha asli, udah lama banget gue gak merasa lo sehidup ini. Lo seneng yah?” 


——


2 BULAN, 8 HARI SEBELUMNYA


“Gimana rasanya cha?” Chat Mentari pagi itu ketika gue bersiap mengikat sepatu olahraga.


“I think it was okay. Rasanya natural, kayak kita gak trying so hard to impress each other. Kita cuma sama-sama seneng satu hal, dan nikmatin itu bareng-bareng.”


Oh wow” jawabnya singkat tapi sepertinya gue tidak pernah mendapat respon dengan tonality sepositif ini dari Mentari.


———


1 BULAN SEBELUMNYA


“Ham, gak dapet bring me the horizon lo?” Keshia yang duduk di sebelah kiri gue tidak melepas pandangannya dari laptop dan dengan santai bertanya ke Arham yang duduk di sebelah kanan gue. 


Gue yang berada di tengah-tengah mereka dengan santai bersandar menekan punggung ke kursi sembari membalas chat Ibu yang minta dipesankan gosend.


“Gak, lagi” jawab Arham kecewa


“Hahaha, Morrisey gak sih gas?” tambah Keshia

“Yang itu gak ada duitnya” Jawab Arham diikuti tawa sekitar kami.


Gue menyimpan kembali ponsel ke dalam tas dan mencoba ikut ke dalam diskusinya, “Gue dapet tuh tiketnya. Bagus ya?”


Pandangan Keshia langsung mengarah ke gue, “Gimana, grai?”


Arham juga menghentikan aktivitasnya sejenak.

“BMTH sama Morrisey kan? Iya temen gue minta ditemenin nonton, terus udah dibeliin tiketnya gitu kayaknya” jawab gue sembari merebahkan diri di kursi dan berputar-putar, masih belum menyadari kekagetan yang dihadirkan keduanya.


“HAHHHH? LO NONTON BMTH SAMA MORRISEY??? SI NGERTI LOO SAMA GITUAN??” Teriak Keshia yang lalu diikuti tawa menggelegarnya.


“Demi apa Grai?” Arham terkesima seakan mendengar gue keterima kerjaan di Google.


Jujur udah gue bilangiin kalau gue gak dengerin, diketawain album Gita Gutawa gua sih kayaknya. But he just need accompany. Ya why not?” 


Naksir si grai dia sama lo” Tukas Arham cepat kembali mengarahkan pandangan ke laptopnya lagi.


“Hahaha yakali, enggakk, cuma nyari temen aja kayaknya” Jawab gue santai karena langsung hilang fokus sesaat membaca notifikasi pada slack.


“Grai, bentar, he asked you to a concert you don’t know, this is supposedly something you used to hate, and now, you’re comfortable with it?” Pertanyaan kilat itu ternyata secara kilat mengembalikan fokus gue kembali, terhenyak mendengar pertanyaan Keshia.




3 MINGGU SEBELUMNYA


“Adek kalau mau serius juga gapapa” Ujar ibu tiba tiba dalam sebuah siang di akhir pekan. 


Mata yang tadinya gue arahkan ke buku jadi mengangkat menatap Ibu.


“Serius apa ya bu?”


“Anaknya baik, sopan, dan rapih. Bisa menempatkan diri. Kalau emang adek suka ya ibu doain aja.”


Walau muka gue netral, gue lumayan terkejut dengan respon ibu. Sudah lama ibu tidak mengeluarkan statement ini dengan momen sesantai ini. Gue pun tidak terlalu sering ngomongin soal ini karena gue merasa belum ada yang perlu dan bisa diceritakan juga.


Walau sedikit bingung untuk menanggapinya karena gue pun tidak punya ekspektasi apapun, akhirnya gue cuma menjawab singkat “Iya bu”


2 MINGGU SEBELUMNYA


“So, who’s the guy?” Tembak Charles ketika kami bertiga akhirnya bertemu di sebuah kafe daerah Menteng.


“Hah?” Gue yang lagi minum menaggapi bingung, karena seingat gue, gue belum berbicara apapun tentang siapapun, tidak dichat tidak secara langsung. 


“You’re blossoming” Jojo menambahi


“Haaah?” Tanggapan gue lagi. “Apaansi?”


“Lo keliatan ceria banget si parah. Siapa nih yang bikin lo kayak gini? Gila akhirnya temen gue gak cuma kerja aja?” Tanya Charles lagi sembari diikuti tawa


“Emang keliatan?” Tanya gue bodoh sambil memegang wajah gue. Mereka berdua hanya tersenyum mesem mesem.


“Abis ini, lo mau ketemu dia ya makanya gak bisa lama lama sama kita? Since when you put us as a second priority, cha?


Pertanyaan yang lagi lagi membuat gue diam dan hanya bisa membalasnya dengan tersenyum awkward.


30 MENIT SEBELUM ARIS BERTANYA


“Ayo grai cerita” Ujar Keshia, lead yang juga teman baik di kantor,  sesaat menutup pintu mobil dan mobil melaju meninggalkan basement menuju ke pecel lele andalan kami.


“Cerita apaan” Tanggap gue santai sembari menyeimbangkan setir dan mencari tiket parkir. “Lagi nggak ada yang ribut di kantor, gak ada yang seru”


“Cerita siapa kek, atau gimana kalau cerita yang kemarin lo bawa ke undangan Safiya aja....?” Jawaban Keshia disambut tawa Aris, Dika, dan Nia yang berada di dalam mobil yang sama


Hadehh, gue udah tau bahwa akhirnya akan begini. Diperjalanan ke tempat makan akhirnya gue memilih milih mana yang bisa gue ceritakan sebagai bahan obrolan tanpa melewati batas privasi siapapun, mobil menjadi hening seketika.


Tidak lama terdengar “Alhamdulillah” dari belakang kursi gue, Keshia & Nia yang notabenenya non-muslim malah menyambut ucapa syukur bersamaan saat gue menutup cerita.


Gue tersentak kaget “eh kenapa?”


“Tuh kan kak Keshia juga punya reaksi yang sama. Denger cerita kamu tuh bener bener kayak denger gimana doa kamu terealisasi tau, Graii. So, Alhamdulillah indeed” Ujar Nia.


“Asliii, ini beneran kayak yang selalu lo mau gak sih grai?” 


Gue mengangkat alis sembari tertawa pelan, “haha emang iya ya? gak engeh banget… Tapi anaknya memang baik, baik sekali. Ya Alhamdulillah ya kalau gitu?” gue agak bingung dan salting menanggapinya tapi membuat gue terpikir juga “oiya ya?”




Rekaman memori itu kembali berputar dan membuat gue sadar.


Pertanyaan Aris di awal menjadi trigger pikiran gue bahwa mungkin gue selalu denial, gue selalu merasa bahwa apa yang sedang gue jalani biasa-biasa aja. 


Mungkin semua luka yang pernah ditorehkan orang orang sebelumnya membuat gue terbiasa bahwa apa yang gue jalani sekarang bisa pergi kapan saja, jadi tidak perlu harus merasa memiliki sense of belonging dan sense of happiness yang tinggi.


Tapi gue harusnya bisa menyadari bahwa seberapa kuatpun kita menolak respon bahagia, ternyata hal itu terpancar secara natural dari sudut pandang orang lain.


Gue lupa kapan terakhir gue sendiri tidak menyadari apa yang gue rasakan tapi orang lain yang malah menyadarkan hal itu untuk gue. 


Mencoba menggabungkan semua puzzle dan menemukan benang merahnya, membuat gue sadar dan tersentak. 


“Ris” Gue sempatkan mengusap sebelum melepas tangan dari lengannya sesaat kita sampai di seberang jalan. 


Aris yang awalnya ingin mencari kursi kembali mengalihkan perhatiannya ke gue, 

“Yea, I think I do.” jawab gue singkat, sedikit bingung tapi gue melihat ia terenyum hangat mendengar jawaban gue sebelum mendorong gue masuk ke warung pecel lele itu.


xx

Grai, Aug 2024

Comentários


bottom of page