Review Love and Leashes Bahasa Indonesia (2022) | Rated 21+ | 3/5
Korea Selatan
Sutradara: Hyeon-jin Park
Pemain: Seohyun, Joon-Young Lee, Kim Bo-Ra
Bisakah topik sensual diangkat dengan sentuhan edukasi, berisi kritik sosial tapi juga menghibur dalam waktu bersamaan? Rasanya mungkin agak sulit mengingat ketiga hal tersebut memiliki bobot yang sama beratnya untuk divisualisasikan dalam medium satu film panjang, kalaupun ada, pasti orang beranggapan humor norak atau tontonan nggak mendidik.
Tapi sepertinya kesulitan tersebut nggak berlaku untuk Love and Leashes.
Jung Ji-Woo (Seohyun), pegawai perempuan yang selalu terbaik dalam melakukan pekerjannya namun mendapatkan perlakuan tidak adil dari kepala departemennya. Hingga suatu hari datanglah Jung Ji-Hoo (Joon-Young Lee), seorang pria muda berparas tampan yang langsung menarik perhatian Ji-Woo. Rasa ketertarikannya terbentuk ketika menyadari kepekaan pria ini terhadap situasi seksisme yang ada dan sikapnya yang langsung memutarbalikkan keadaan.
Nama yang mirip menjadi poin penting untuk mengantarkan cerita, di mana paket penting milik Ji-Hoo tidak sengaja diberikan ke Ji-Woo. Paket yang akhirnya membuat Ji-Woo menyadari bahwa managernya tersebut memiliki preferensi seksual yang berbeda yaitu BDSM (bondage, dominance, sadism, dan masochism).
Ketika merasa bahwa Ji-Woo bukan sosok yang judgmental, Ji-Hoo pun mulai terbuka akan dirinya sebagai sosok Submissive, di mana ia mendapatkan kesenangan dari perintah dan permainan kasar yang dilakukan oleh Master-nya dan menawarkan kesediaan Ji-Woo untuk menjadi sosok yang memberikan perintah untuknya.
Ji-Woo mulai mempelajari dunia BDSM lewat forum dan membuat kontrak perjanjian. Keduanya setuju untuk melakukan roleplay tanpa terikat hubungan romansa. Kehadiran mantan kekasih Ji-Hoo dan bawahan baru Ji-Woo membuat suasana diantara keduanya semakin tense dengan api cemburu dalam balutan komedi.
Tonton Trailer Love and Leashes:
BDSM emang konsep seksual yang berbahaya dan sangat sensitif, sehingga dibutuhkan penjabaran matang tentang practice ini sebelum dileburkan dalam sebuah hiburan untuk orang awam agar tidak dianggap negatif.
Sebut saja film Fifty Shades of Grey (Taylor Jhonshon, 2015) yang mungkin akan jadi reference pertama orang sebut ketika mendengar konsep BDSM. Alih-alih mengedukasi pemahaman penting soal praktik BDSM, filmnya malah lebih memberatkan hal sensual yang erat dengan stigma negatif atau kelainan.
Love and Leashes menjadi menarik karena kepeduliannya terhadap BDSM bukan cuma sekedar untuk menunjukkan bahwa hal ini ada di lingkungan sosial kita tapi juga hal-hal fundamental yang perlu dipahami dalam praktik ini.
Untuk bisa menarik fokus orang agar tidak tenggelam dalam persepsi negatif yang udah ada, sepertinya Hyeon-jin Park (Like for Likes, 2016), perempuan yang duduk di kursi sutradara ini sudah menyiapkan banyak trik agar dapat menyingkap stereotype tapi tetap memberikan visual yang manis untuk dipandang.
Hal ini terbukti bagimana Love and Leashes konsisten membawa sentuhan berbeda untuk menjaga kenetralan. Beberapa diantaranya adalah dengan pilihan menjadikan karakter laki-laki sebagai sosok submissive, menekankan kebutuhan emosional daripada memamerkan aktivitas step-by-step, atau mengontrol kadar gelagat sensual karakter agar tidak terlalu berlebihan tapi tetap tepat sasaran.
Hyeon-jin Park tahu betul kapan harus fokus untuk menunjukkan reflek seksual tubuh kapan harus fokus menonjolkan dialog, ekspresi dan karakter sehingga hasilnya menjadi kisah komedi romantis yang utuh dan nggak murahan.
Cara karakter Ji-Woo melakukan riset mendalam di artikel dan komunitas sebelum menentukan keputusannya patut diapreasi bahwa hal ini tidak bisa dilakukan secara impulsive.
Selain itu, tidak luput peran penting kontrak untuk menunjukkan bahwa semua harus dalam consent dan kenyamanan kedua belah pihak. Kontrak memang menjadi satu simbol penting yang disampaikan film ini, tapi dalam prosesnya karakter juga menekankan bahwa kejujuran dan komunikasi untuk menyatakan keinginan merupakan poin penting lainnya yang melekat dalam praktik ini.
Fakta-fakta kecil juga tidak luput terselip, sebut saja fakta bahwa dalam dunia BDSM kerap ada sosok palsu yang mengaku penganut tapi nggak lebih dari orang yang memanfaatkan keadaan untuk melakukan kekerasan seksual atau gelagat pelaku BDSM yang mungkin bisa terlihat dari karakter lain dalam elemen minim.
Film ini juga menutup kisah dengan menggambarkan bahwa praktik BDSM erat kaitannya dengan social judgment, menyentil frontal bagaimana dunia perkantoran masih sangat ikut campur dan crossing the line untuk hal personal karyawan dengan memanfaatkan power yang mereka punya.
Semua pemahaman penting tentang BDSM dikemas dengan detail dalam film ini seakan menggebu-gebu ingin menyampaikan bahwa BDSM bukanlah kelainan negatif yang agresif tapi semua tertata dan ada prosedurnya.
Sayangnya, fokus mengedukasi dengan agenda yang banyak ini harus mengorbankan kesempatan untuk memperdalam permasalahan cerita.
Semua konflik dalam film ini seperti asal tempel dengan solusi instan saja, kehadiran karakter lain yang berpotensi menguatkan masalah tapi jadi sekedar lewat, bahkan chemistry yang dibangun kedua pemain utama tampak tidak maksimal walaupun tidak bisa dipungkiri keduanya outstanding memainkan karakternya.
Ini film yang mungkin akan dianggap sangat bagus oleh kritikus mengingat agenda dan cara bertuturnya yang sangat rapih tapi mungkin agak sulit untuk dijadikan hiburan sehari-hari bagi orang awam yang lebih suka jalan cerita yang jelas dan tidak bertele-tele.
Despite all of the drawbacks, filmnya bisa menghadirkan kisah sensual yang lucu tanpa sentuhan menjijikan atau dipaksakan. Gue menyarankan film ini ditonton usia 21 tahun ke atas karena walaupun nggak ada adegan seksualnya secara frontal, pikiran matang dan kedewasaan dibutuhkan untuk mencerna film ini.
Salam Hombimba,
Graisa
xoxo
Comments