2024 memasuki satu tahun lagi terpilih untuk mewakili tradisi perayaan pesta demokrasi lima tahun sekali.
Semua mungkin setuju bahwa gimmick-gimmick perayaan pesta demokrasi tahun ini banyak membawa warna baru yang menarik dan mengundang decak ckck dan juga kagum bersamaan; mulai dari teknik marketing AI, keterlibatan presiden tanpa billboard, branding gemoy pada sosok yang selama ini besar dalam dunia militer, dugaan pelanggaran aturan usia kandidat, adopsi fans-practice ala korea, belum lagi tingkah-tingkah selama debat kandidat atau reaksi praktisi selama kampanye.
Kemajuan digital literasi yang semakin baik tahun ini mengobati kampanye-kampanye hitam yang meng-abuse transparasi pesta cycle 5 tahun lalu yang banyak memecah belah banyak keluarga.
Kita semua sadar betul bahwa kemajuan ini pasti lebih agresif terjadi mengingat jumlah pemilih tahun ini juga banyak didominasi oleh Generasi Bonus (warga kelahiran 2000an) yang baru memilih pertama kali untuk dan notabene-nya jauh lebih kritis, menyerap informasi lebih banyak namun sayangnya, kerap kali secara menyimpulkan secara singkat. Manuver marketing yang digunakan tim sukses harus lebih halus dan tepat sasaran.
Keterlibatan banyak anak muda juga yang menjadi tim sukses tiap capres membuat banyak approach marketing yang smooth tanpa disadari oleh kebanyakan anak muda yang cepat menyimpulkan sesuatu dan mengikuti arus suasana & informasi.
Fenomena ini coba ditangkap oleh dua konten kreator Da Lopez bersaudara yang sebelumnya dikenal dalam kanal YouTube, Skinny Indonesian 24 yaitu Jovial Da Lopez & Andovi Da Lopez.
Jovial & Andovi memang kerap menyuarakan kritik sosial terhadap politik di beberapa kesempatan. Terakhir kali yang berkesan untuk pembuat konten dan penikmatnya mungkin DPR Musikal yang diunggah dalam kanal Youtube mereka. Inisiatif yang diarahkan langsung oleh Jovial Da Lopez.
Seperti ingin membuat versi lebih panjang yang dapat lebih hidup dan lebih serius menyuarakan kekhawatiran mereka, keduanya membawa situasi keriuhan pesta demokrasi kali ini dalam teater sesungguhnya dengan topik Polarisasi Musikal yang digelar 2-4 Februari 2024, 10 hari sebelum pemilu sesungguhnya.
Dalam booklet-nya, drama musikal ini mau menyampaikan pengaruh terburuk kampanye politik ke kehidupan anak muda tanpa mereka sadari.
Kisahnya menyoroti Grisella (Jennifer Kristi Rengka), Raka (Gerry Gerardo), Bara (Alvin Lapian), Rizal (Aulion), dan Teresia (Kezia Aletheia) yang diberikan tugas kuliah untuk membuat aksi nyata dengan kontribusi langsung ke Indonesia.
Mereka memutuskan untuk mengambil topik lingkungan yang berfokus untuk membantu daerah tempat tinggal Grisella di NTT.
Gonjang ganjing selama persiapan tugas diselimuti Raka si influencer TikTok yang sibuk membuat konten, Bara yang selalu mencanangkan bahasan politik, Teresia yang apatis dengan situasi politik saat itu dan Rizal yang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Tanpa mereka sadari, segala aktivitas mereka berporos pada situasi kampanye politik yang sedang dijalani oleh dua calon presiden, Reksa (Jovial Da Lopez) dan Tjokro (Andovi Da Lopez).
Drama musikal mengalir dengan penggambaran usaha-usaha Reksa & Tjokro dalam meraih pemenangan suaranya dan impact yang secara tidak langsung mempengaruhi Grisella and the geng.
Da Lopez brothers bukanlah influencer favoritku (kalau tidak pada urutan paling bawah), mengingat keduanya punya persona yang susah untuk aku terima dengan baik, belum lagi salah satunya menelurkan Film Bucin (2020) yang jokes seksualnya susah untuk dimaafkan.
Tapi aku tetap memilih nonton drama musikal ini karena memprioritaskan ketertarikanku sama dunia musikal yang ternyata lebih dari rasa sensiku pada keduanya. Dan rasanya drama musikal ini membuatku bisa memaafkan semua kebencianku.
Drama musikal Polarisasi menghadirkan kembali rasa hangat menonton musikal yang sudah lama kurindukan! Rasanya seperti nonton musikal jaman Naga Ungu atau Pika PIka Kuro yang dibuat sedekat mungkin dan sarat akan makna.
Menonton musikal dengan skrip orisinil dengan alunan musik baru yang menyenangkan seperti membawa perasaan bahagia berbeda jika dibandingkan nonton musikal adaptasi.
Penulisan dipadu penyutradaraan yang baik membuat ceritanya terjaga untuk tetap concise dan penting di tiap scene-nya. Penggunaan gimmick yang sangat relevan sama anak mudah dipadukan isu isu negatif yang sangat lumrah terjadi di masa sekarang membuat ceritanya mudah dipahami dan seperti speaks for us.
Persona yang kuat di beberapa karakter dan candaan yang dilemparkan ditangkap dengan baik oleh penonton dan berhasil membuat ceritanya tidak terlalu berat.
Yang aku suka, Polarisasi Musikal fokus menggambarkan aksi-reaksi. Langkah-langkah mainstream yang biasa digunakan tim sukses dan pengaruhnya ke anak muda bikin yang nonton jadi tau apa yang mau disampaikan sutradaranya.
Menariknya peran calon presiden digambarkan penentu paling kecil terhadap situasi, benar-benar berbeda dengan stigma yang anak muda lihat di sosial media.
Lebih nyamannya lagi ditengah banyaknya informasi dan influencer yang memihak kandidat capres di dunia nyata, sketsa dalam drama ini tidak spesifik menyudutkan atau menyerupai calon presiden - walau beberapa personanya mungkin relevan ke beberapa tokoh pendukung untuk menjadi gimmick hiburan.
Aku masih kagum bagaimana penentuan puncak plot, penggambaran alasan orang dibalik apatis terhadap politik, dan epilogue yang bahkan tidak conclude status capres membuat ini fokus ke anak muda, seakan cuma mau bilang “ini yang bakal terjadi loh, are you even aware?”
Departemen musik dengan theme song yang sangat catchy juga sangat menarik hati, set designer tidak perlu diragukan lagi selama ditangan art director Farras Safira (Drama Musikal GEMURUH, Petualangan Sherina, & Cek Toko Sebelah) sepertinya akan selalu apik.
Perlu diapresiasi usaha dan emosi kreator yang pengen pengen ngebahas semua hal sensitif untuk buka mata kita mulai dari permainan SARA, kampanye hitam, penggunaan buzzer, keterlibatan podcast artis, sampai fitnah isu LGBT.
Sayangnya, emosi kreator dalam menyampaikan itu semua tanpa diprioritaskan membuat beberapa luput diselesaikan solusinya. Contohnya ketika membawa isu LGBT, sibuk menyudutkan dan mengkriminalisasi tapi gak dikasih konklusinya.
Drama Musikal ini nampak terlihat on-budget-nya tapi didukung dengan semangat tiap timnya yang berapi-api, contohnya ensemble cast yang terbilang cukup sedikit dan harus siap untuk cover beberapa karakter tapi tetap maksimal tampilnya, especially mereka punya 2 show tiap harinya selama 3 hari.
Gak tau sih~~ tapi aku rasa penggunaan Da Lopez dan pasangannya menjadi cast juga spirit untuk mau hands-on, mengambil market mereka dan saving the budget karena kalau ada uang lebih pasti mereka akan cari cast lain yang lebih bagus nyanyinya hehe.
Kalau saja bisa memilih apa yang bisa dikembangkan kedepannya, dengan segala hormat, aku pasti akan menyarankan untuk Andovi & Kezia fokus berakting dan posisi menyanyi diberikan orang lain karena aku sungguh terpukau sama ekspresi Andovi selama bermain namun tidak ketika bernyanyi. Kalau Jovial? Aktingnya gak memorable, karakternya pendukungnya jauh lebih shining, tapi waktu nyanyi gak ganggu ganggu amat sih.
Durasi 3 jam (Act 1 90 menit, Intermission 15 menit, Act 2 60 menit) juga sangat menguras energi dan waktu. Penonton sore jadi gak dikasih kesempatan untuk sholat ashar dulu. Aku sad kechiel karena lagu di curtain call bukan theme song Hati Hati Polarisasi yang sangat identik :"D
Selain itu, aku juga lumayan surprise bahwa untuk ukuran drama musikal nasionalis, pagelaran ini tidak dimulai dengan kumandang Indonesia Raya dulu sebagaimana rangkaian acara dimanapun biasanya.
Secara keseluruhan, aku sangat menikmati acaranya dan berharap bisa lebih banyak orang nonton lagi.
Pendukung acara seperti usher dan crew juga bekerja dengan baik dan floor flow terasa lancar.
Susah untuk admit ini setelah lama membenci tapi setelah semua usahanya, aku rasa aku cukup pede untuk menyatakan bersedia untuk menunggu karya keduanya lagi dalam balutan drama musikal! It's worth the wait
xoxo,
Graisa S
Comentários