Dear Nathan Hello Salma (2018)
from Indonesia
Distributed by: Rapi Films
Directed by Indra Gunawan| Based on Novel Hello Salma by Erisca Febriani
Starred : Amanda Rawles, Jefri Nichol, Susan Sameh, Deva Danendra, Surya Saputra
I'm a big fan of Dear Nathan, ok? Gue baca bukunya dan gue akui gue suka kok sama Dear Nathan both buku dan filmnya. Ceritanya menarik gimana bisa ngangkat bahwa dalam hubungan tuh cewek mungkin yang egois dan menunjukkan kemampuan brengsek + plin plan seorang cewek yang dibalut oleh kemanisan, keluguan, dan tangisan - I can relate HAA
And I was beyond proud ketika gue baca novel keduanya yaitu Hello Salma. Karakternya kuat banget, kayak mau lebih dewasa dari sebelumnya karakter Salma ini dibuat abis-abisan downnya lebih dari Nathan di seri pertama. Permasalahan di antara karakternya juga relate banget deh apalagi ada isu Mental Health juga kaya jadi poin tersendiri yang pengen ditonjolin dari penulisnya, karena emang dibabat abis-abisan dari mulai proses depresi, penyembuhan, sampe momen pengikhlasan. Ini udah oke banget ya di buku.
So, how worst the movie?
source: hipwee.com
Adegan pertama masih menceritakan betapa manisnya hubungan Nathan (Jefri Nichol) dan Salma (Amanda Rawles) dan menitikberatkan bahwa hubungan baik ayah dan anak antara Nathan dan Papanya (Surya Saputra). Kemanisan hubungan Nathan dan Salma terus berlanjut sampai di sekolah sampe akhirnya Nathan berantem karena direndahin bawa-bawa nama Salma dan memilih untuk pindah sekolah daripada harus minta maaf. Salma benci tiap Nathan berantem, jadi lah akhirnya mereka ribut dan putus.
Di sekolah baru, Nathan ketemu Rebecca (Susan Sameh) yang lagi ngalamin depresi berat karena ditinggal Ayahnya bunuh diri dan Ibunya nikah sama orang lain lagi. Tipikal anak SMA yang messed up banget sampai mau bunuh diri dan diselamatkan Nathan karena ia merasa pernah di posisi Rebecca dan mau bantuin Rebecca keluar dari masalahnya. Eh sayangnya Rebecca naksir Nathan, tapi Nathan masih sayang Salma.
Masalah lain muncul pas bapaknya Salma pulang dari Amerika dan memaksa Salma masuk UI sembari ditemani Ridho, teman kecil yang suka bully dia. Bapaknya pun juga ga setuju kalau dia masih suka main sama Nathan. Depresi mulai menggeluti Salma ketika ia gagal masuk UI dan harus mengulang tahun depan.
"Kalau kamu udah memutuskan sesuatu, kamu harus siap sama resikonya
jangan lagi nengok ke belakang"
- Papa Nathan
Film ini penggambaran tepat bahwa betapa susahnya mentransfer makna dan kesan dari buku divisualisasikan dalam bentuk film. Bukunya yang disusun dengan sangat rapih, penggunaan bahasa gampang dimengerti, dan isu yang di angkat bisa diserap karakternya dengan baik malah nggak kegambar apa-apa di film ini.
Setiap goresan ceritanya di fast-forward dan nggak ninggalin kesan apa-apa. Kaya ngumpulin pesan-pesan yang terkandung dari buku terus cari aja benang merah yang paling gampang. Karakter depresi yang benar-benar digeluti Salma dan Rebecca yang sangat deskriptif dan mempengaruhi sosial mereka nyatanya nggak bisa diterjemahkan begitu saja dalam bentuk gambar atau gerakan. Amanda terlihat biasa aja, nggak keliatan stres-stres banget masih bisa ketawa dan senyum. Ketelen sama Rebecca atau bapaknya Nathan YHA.
Pesan mental health yang sebenernya jadi inti paling penting harusnya bisa dijabarkan dengan lebih dalam lagi, alih-alih menggambarkan momen momen depresi filmnya ya kekeuh fokus dengan urusan persosialisasian Nathan, Salma sama Rebecca. Kalaupun ada dialog yang kearah sana bawaannya menggurui banget, jadi males denger dialognya.
Kekuatan teman-temannya yang harusnya juga mendukung suasana ketika depresi juga malah menjadi penganggu aja dan nambahin awkward scene list. Bahkan Afifah (Beby Tsabina) yang dulu semakin menghidupkan suasana di sini ga lagi ada. Gue kalau nggak baca bukunya rasanya akan keganggu banget dengan kedekatan ala ala Nathan dan bapaknya. Oke fine udah baikan, tapi ya masa sih semua permasalahan hidup kayaknya santai banget karena ceritanya mereka udah bro banget gitu?
Semuanya kayak berdasarkan skrip. Harus A, B, dan C kaya gaboleh improve apa gimana sih? Penggunaan kalimat masih betah dan semakin banyak juga dengan bahasa baku, momen awkward juga masih betah ditonjolin padahal ganggu banget kaya Nathan suka mencoba jayus, ngelawak, atau ngegombal tapi yaudah dia bersuara sendiri aja gitu. Aneh. Belum lagi si Ridho (Deva Danendra) karakternya ngambang, ga dilibatin terlalu banyak tapi sok sok menunjukkan dominan padahal bisa jadi salah satu pencetus masalah.
Kabar baiknya, kemahiran sutradara menambahkan beberapa adegan untuk menghidupkan film. Yang bikin menyenangkan lainnya adalah karena tambahan beberapa adegan ini melibatkan kegemesan Nathan dan ke-insecure-an Salma, jadi bener-bener ngebawa karakter mereka di franchise pertama. Lagu OST-nya juga terngiang ngiang, padahal ga bagus bagus amat juga. Merakit momen supaya film menjadi lebih berarti lewat momen momen sendu kayak diskusi bapak-anak misalnya.
Bingung gue tuh, susah banget nikmatin film ini. Dulu kaya masih enak ditontonnya karena Salma tarik ulur, Nathannya suka gombal gangguin gitu, ya tipikal anak SMA banget. Tapi di Hello Salma, karakternya malah ga keluar sama sekali, chemistry nya juga biasa aja.
Hello Salma sebenernya bisa punya potensi jadi bagus dan direkomendasikan kalau aja fokusnya jelas kemana, tidak melebar terlalu jauh, fokus mendalami karaketer daripada punya pemeran banyak.
Lebih dari itu, gue merasa nggak ada keharusan nonton film ini.
Salam Hombimba,
Graisa
xoxo